Senin, 26 Oktober 2015

KEBUDAYAAN LARUNG SESAJI TELAGA SARANGAN KABUPATEN MAGETAN

Pendahuluan

Magetan adalah salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang terletak dibagian ujung barat. Berbatasan dengan kabupaten Ngawi, Madiun, Ponorogo dan sekitarnya. Magetan memiliki slogan MITRA ( Magetan Indah Tertib Rapi Aman) dan yang sering dikumandangkan adalah slogan “Magetan Kota Wisata”. Salah satu objek wisata yang tidak asing didengar namanya ialah objek wisata Telaga Sarangan.
Telaga Sarangan merupakan objek wisata berupa telaga pasir yang dikelilingi oleh pasar wisata sarangan. Telaga sarangan terletak dilereng gunung lawu. Tepatnya, terletak di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Telaga Sarangan adalah objek wisata berupa telaga yang dijadikan tujuan utama para touris. Selain kondisi suhu udara yang dingin dan nyaman, Telaga Sarangan juga merupakan peninggalan alam yang masih sakral dan mitosnya masih dipercayai warga sekitar dari dulu terbentuknya hingga sekarang. Salah satu mitos yang masih sakral adalah Adanya larung sesaji diarea telaga yang dilakukan seluruh warga bersama pemerintah kabupaten magetan setiap satu tahun sekali pada bulan syakban tepatnya hari jum’at pon sampai minggu kliwon. Khusus untuk warga sarangan sendiri upacara sakral nya atau disebut dengan slametannya pada hari jum’at pon. Untuk sabtu dan minggu kliwon adalah acara yang diadakan oleh Pemda Kabupaten Magetan supaya warga magetan ikut merayakan atau berpartisipasi dalam memeriahkan upacara adat taunan tersebut.  Larung sesaji ini dilakukan sejak kurang lebih  508 sebelum masehi.

Larung sesaji ini dilakukan karena untuk mengucapkan rasa syukur dengan adanya telaga sarangan warga memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuham hidupnya. Dengan adanya telaga sarangan warga sarangan mampu menjajakan dagangan,hotel,persewaan kuda,kapal (spedboad). Kami sekelompok memilih larung sesaji ini karena kami anggap larung sesaji ini merupakan kebudayaan yang unik dan masih menjadi tradisi yang melekat di Telaga Sarangan Kabupaten Magetan hingga saat ini. Di sini kami sekelompok bermaksud menganalisis upacara Larung Sesaji di Telaga Sarangan Kabupaten Magetan sebagai upacara sakral yang merupakan budaya khas masyarakat Kabupaten Magetan.

Asal usul ritual larung sesaji



Larung sesaji adalah sebuah ritual yang diadakan di kelurahan sarangan kabupaten magetan. Acara ritual ini dilakukan sejak kurang lebih  508 sebelum masehi. Awalnya ritual ini bernama larung sesaji, akan tetapi dengan berkembangnya zaman ritual itu berubah nama. Masyarakat  berfikir dengan nama larung sesaji tersebut sangat kental dengan unsur mistis dan musrik. Ritual itu berubah nama menjadi labuhan. Labuhan ini diadakan untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan YME atas limpahan-limpahan yang telah diberikan oleh telaga sarangan yang tidak ternilai harganya.


Waktu pelaksanaan ritual larung sesaji
Ritual labuhan ini dilaksanakan setiap bulan syakban tepatnya hari jum’at pon sampai minggu kliwon. Untuk upacara sakral atau slamatan dari warga sarangan itu sendiri dilakukan pada hari jum’at pon. Untuk sabtu sampai minggu kliwon ritual ini diadakan oleh Pemda magetan yang disaksikan oleh  seluruh warga.
Dampak ritual larung sesaji
·      Bagi warga Sarangan
Bagi warga sarangan yang berprofesi pedagang, penyewa kuda, penyewa speedbood, dan penginapan mendapatkan penghasilan yang lebih. Karena upacara tradisional ini dikemas secara khusus dengan gaya dan cara yang unik pula, sehingga menambah daya tarik pengunjung ke obyek wisata Telaga Sarangan Magetan.
·      Bagi Pemda
Bagi Pemda kabupaten magetan sendiri dengan diadakannya labuhan itu sendiri akan menambah pemasukan daerah dikerenakan banyaknya pelancong-pelancong yang ingin menikmati ritual unik itu sendiri. Dengan adanya ritual labuhan tersebut memperkenalkan telaga sarangan menjadi salah satu obyek wisata di magetan.

Perlengkapan ritual larung sesaji
Perlengkapan labuhan ini dibedakan menjadi 2 bagian, yang pertama untuk warga sarangan itu sendiri yang dilakuakan pada hari jum’at pon sedangkan hari sabtu sampai minggu kliwon dilakukan oleh pemda sarangan. Untuk perlengkapan pada hari jum’at pon berbeda dengan hari sabtu sampai minggu kliwon. Untuk hari jum’at pon itu sendiri perlengkapan yang dibutuhkan yaitu:
-       Tumpeng asli
-       Ayam panggang
-       Pisang setangkap (pisang ini harus tergolong pisang raja dan ambon)
-       Budak ripeh (budak ripeh ini adalah sejenis jadah putih, kuning)
Jadah ripeh ini bermula dari kusumaning Dewi Nawang Wulan dan Joko Tarub
-       Jajan pasar
-       Jenang moncowarno (jenang 5 warna)
Sedangkan pada hari sabtu sampai minggu kliwon perlengkapan yang dibutuhkan yaitu:
-       Tumpeng Gonobahu setinggi 2 meter.
Dalam tumpeng tersebut terdapat ayam tulak (ayam hitam yang bulu sayapnya terdapat 1 warna putih).
-       Uluwatu bumi (Buah-buahan, sayur mayur, palawija).

Tata cara pelarungan sesaji


Prosesi larung sesaji diawali dengan kirab Tumpeng Gono Bahu dari Kelurahan Sarangan menuju panggung di pinggir Telaga Sarangan. Pemberangkatan dimulai dari Balai Kelurahan Sarangan jam 10 pagi menuju telaga sarangan, kurang lebih 500 meter dari Telaga Sarangan. Dalam perjalanan dari Balai Kelurahan Sarangan, peserta yang membawa sesaji dilakukan dengan berjalan kaki kecuali, empat pasukan berkuda dengan naik kuda. Semua sesaji dibawa dengan berjalan kaki, orang jawa menyebutnya dengan kata “Dipikul”. Masing-masing sesaji dipikul oleh kurang lebih 4 orang, sebab ukuran dari sesaji yang lumayan besar dan berat. Iring-iringan kirab diawali dengan pasukan berkuda 4 sampai 8 orang (arak-arakan), cucuk lampah 1 orang, sesepuh adat, kepala kelurahan beserta ibu, barisan domas dari seluruh SMA magetan 50 perserta (pria wanita), prajurit (warga setempat), kejawen 40 orang (pria), bonang renteng (musik gamelan). Upacara Labuh Sesaji dipusatkan di punden desa tepatnya sebelah timur telaga, di tempat inilah para pejabat Kabupaten, Muspika, para perangkat desa, sesepuh, dan tokoh masyarakat serta para warga masyarakat berkumpul untuk mengadakan sesaji.
Setelah semua sesaji diterima oleh sesepuh desa, maka sesepuh desa membakar menyan serta membaca doa. Setelah pembacaan doa selesai sesaji dibawa ke telaga untuk dilarungkan kecuali, sesaji yang berisi nasi tumpeng yang berukuran kecil, panggang, cok bakal, dan setakir bunga telon ditinggal di bawah pohon beringin yang ada di punden desa. Pelarungan dilakukan setelah Sesaji Agung Labuh Tumpeng Gono Bahu dikumpulkan menjadi satu di punden dan dibacakan doa oleh sesepuh Desa Sarangan. Semua sesaji diangkat kedalam perahu oleh warga. Kemudian dibawa mengelilingi telaga serangan dengan menggunakan perahu. Barulah semua sesaji dilarungkan kedalam telaga oleh para pejabat serta masyarakat setempat dengan menggunakan 50 perahu menuju tengah-tengah telaga. Dengan dilarungkannya sesaji tersebut warga sarangan dan semua warga magetan berharap dapat dijauhkan dari segala musibah dan balak, serta kehidupan masyarakat akan lebih baik.

Acara ini dimeriahkan oleh berbagai pertunjukan contohnya pertunjukan reog, barongsai, drumb band, dan orang luar bisa melihat dengan bebas. Setelah upacara adat selesai sesepuh menyerahkan tumpeng gonobahu kepada bapak bupati magetan. Acara ini berfungsi religius dan disisi lain mempunyai fungsi sosial. Dikatakan bermakna religius karena berkaiatan dengan aspek supranatural. Dikatakan bermakna sosial karena kegiatan tersebut melibatkan masyarakat pendukung kebudayaan. Tujuan tradisi ini sebagai ucapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hadiahNya yang berupa Telaga Sarangan, sehingga mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Magetan khususnya dan Indonesia pada umumnya.


                      http://dwirohman-zaidan.blogspot.com